Pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru pada Maret 2025 telah memicu berbagai reaksi di kalangan masyarakat dan pemerhati demokrasi. Perubahan signifikan dalam UU ini mencakup penambahan tugas pokok TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP), perpanjangan usia pensiun prajurit, serta pengaturan mengenai penempatan prajurit aktif di lembaga sipil. Meskipun bertujuan untuk memperkuat pertahanan dan keamanan nasional, revisi ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi pelemahan prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi Indonesia.
Salah satu perubahan utama adalah penambahan dua tugas pokok TNI dalam OMSP, yaitu membantu mengatasi ancaman siber dan melindungi serta menyelamatkan warga negara Indonesia di luar negeri. Langkah ini mencerminkan respons terhadap dinamika ancaman modern yang semakin kompleks. Namun, perlu diwaspadai agar perluasan peran ini tidak menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara TNI dan institusi sipil terkait, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) atau Kementerian Luar Negeri. Koordinasi yang jelas dan pembagian tugas yang tegas menjadi krusial untuk mencegah potensi konflik kepentingan dan memastikan efektivitas penanganan ancaman.
Revisi UU TNI juga memperpanjang batas usia pensiun prajurit sesuai dengan pangkat mereka. Misalnya, perwira tinggi bintang empat kini memiliki batas usia pensiun hingga 63 tahun, dengan kemungkinan perpanjangan dua kali sesuai kebutuhan yang ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Perubahan ini dapat dipahami sebagai upaya mempertahankan pengalaman dan keahlian di tubuh TNI. Namun, perlu dipastikan bahwa perpanjangan masa dinas tidak menghambat regenerasi dan promosi perwira muda yang berpotensi, sehingga dinamika organisasi tetap terjaga.
Salah satu aspek paling kontroversial adalah pengaturan mengenai penempatan prajurit aktif di kementerian dan lembaga sipil. Kritikus berpendapat bahwa langkah ini berpotensi mengembalikan praktik dwifungsi ABRI yang pernah terjadi pada era Orde Baru, di mana militer memiliki peran dominan dalam pemerintahan sipil. Proses pembahasan yang cepat dan minim partisipasi publik juga menambah kekhawatiran akan transparansi dan akuntabilitas dalam perubahan ini. Penting bagi pemerintah dan legislatif untuk memastikan bahwa penempatan tersebut tidak mengganggu prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi.
Revisi UU TNI 2025 membawa implikasi signifikan terhadap dinamika hubungan antara militer dan sipil di Indonesia. Sementara beberapa perubahan dapat dipahami sebagai adaptasi terhadap tantangan keamanan kontemporer, penting untuk memastikan bahwa implementasinya tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Diperlukan pengawasan ketat, partisipasi publik yang bermakna, dan komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan pertahanan dan penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan bangsa ini.
Comment