SIDRAP, LENSAMERDEKA.COM – Angin tak sedap berembus dari Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan. Sebuah laporan mengejutkan menguak dugaan praktik pungutan liar terhadap ratusan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Sebanyak 480 PPPK diduga dipungut dana ilegal sebesar Rp500.000 per orang, yang jika dikalkulasi mencapai total Rp240 juta. Uang tersebut kabarnya dikumpulkan oleh 15 orang yang kini tengah disorot, diduga bertindak demi kepentingan pribadi.
Bupati Sidrap, H. Syahruddin Alrif, tak menutup amarahnya ketika kabar ini sampai ke mejanya. Ia dengan tegas menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi birokrasi yang menjunjung pelayanan publik yang bersih, adil, dan profesional.
“Pemungutan dana yang tidak berdasar ini adalah tindakan yang sangat tidak terpuji! Kami tidak akan mentolerir perbuatan yang merugikan masyarakat,” tegasnya, Kamis (10/4).
Ia memperingatkan, para pelaku yang terbukti terlibat akan menerima konsekuensi serius—mulai dari sanksi administratif hingga pencabutan status kepegawaiannya. Lebih jauh, ia menyerukan agar aparat penegak hukum segera turun tangan menyelidiki jejak aliran dana dan mengungkap dalang di balik praktik ini.
“Langkah tegas ini kami ambil agar tak ada lagi ruang untuk pungutan liar berkedok administrasi. PPPK adalah hak rakyat, bukan ladang bisnis gelap,” ujar Syahruddin.
Bupati juga menyerukan kepada para korban agar tak takut melapor. Pemerintah daerah berjanji akan mendampingi proses hukum hingga tuntas, demi menjaga integritas sistem perekrutan aparatur sipil negara.
Kasus pungli ini mencerminkan realita kelam yang masih menghantui proses seleksi ASN dan PPPK di berbagai daerah. Di tengah semangat digitalisasi dan transparansi, praktik lama rupanya masih menemukan celah—berubah rupa namun tetap mengincar kelompok rentan, dalam hal ini para tenaga honorer yang berharap pada masa depan yang lebih pasti.
Momentum seperti seleksi PPPK memang kerap menjadi lahan basah bagi oknum birokrat yang ingin mengambil keuntungan dengan dalih “urus administrasi” atau “percepat proses”. Padahal, sistem yang telah dirancang terstandar seharusnya menutup kemungkinan permainan seperti ini.
Kasus Sidrap bisa menjadi pelajaran penting bagi daerah lain bahwa pengawasan internal tidak cukup. Diperlukan sistem aduan yang mudah diakses, perlindungan bagi pelapor, dan tindakan cepat dari pemerintah daerah agar kepercayaan publik terhadap sistem seleksi ASN tidak runtuh.
Comment