PALOPO, LENSAMERDEKA.COM – Ketegangan politik kembali mencuat di Palopo, Sulawesi Selatan, menjelang pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada yang dijadwalkan berlangsung pada 24 Mei 2025. Ribuan warga yang tergabung dalam Aliansi Peduli Demokrasi turun ke jalan, Senin (14/4), menyuarakan tuntutan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel menjaga netralitas dan transparansi dalam menjalankan tugasnya.
Aksi yang berlangsung di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman ini menyebabkan arus lalu lintas lumpuh hingga lebih dari setengah kilometer. Truk dan sepeda motor yang digunakan sebagai barikade menambah suasana demonstrasi menjadi simbolik—seolah memperlihatkan kekecewaan masyarakat atas sistem demokrasi yang dinilai mulai kehilangan arah.
Salah satu spanduk menyampaikan pesan yang menggugah: “Demokrasi mati di tangan KPU Sulsel.” Kalimat itu menjadi representasi kekecewaan massa atas keputusan kontroversial yang diambil oleh KPU Sulsel: meloloskan kembali Akhmad Syarifuddin alias Ome sebagai calon wakil wali kota nomor urut 4.
Ome sebelumnya tersandung pelanggaran administrasi dalam Pilkada 2024 dan sempat didiskualifikasi. Namun, dalam PSU kali ini, ia dinyatakan lolos setelah memperbaiki dokumen pencalonannya—sebuah keputusan yang menuai kecaman keras dari berbagai pihak.
Menanggapi kritik tersebut, Ketua KPU Sulsel, Hasbullah, menegaskan bahwa keputusan untuk meloloskan Ome bukanlah keputusan pribadi atau sepihak. Ia menjelaskan bahwa proses ini telah melewati kajian hukum dan dikonsultasikan secara resmi kepada KPU pusat. “Keputusan ini telah melalui telaah hukum dan telah dikonsultasikan secara formal kepada KPU RI. Surat dinas dari KPU RI sudah kami terima dan sifatnya mengikat,” ungkapnya saat menemui massa di Kantor KPU Palopo.
Hasbullah juga menegaskan bahwa pintu hukum tetap terbuka bagi masyarakat yang ingin menggugat keputusan KPU. Ia mempersilakan publik untuk melapor ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan menyatakan siap menghadapi proses hukum sesuai aturan yang berlaku.
Silakan laporkan kami ke DKPP atau Bawaslu. Itu hak warga negara. Kami siap menghadapi setiap proses hukum yang sah,” imbuhnya.
Dalam klarifikasinya, Hasbullah menyebut bahwa tidak ada rekomendasi eksplisit dari Bawaslu untuk mendiskualifikasi Ome dalam proses PSU kali ini, berbeda dengan situasi sebelumnya. Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan hak politik setiap peserta pemilu. “Ini bukan masalah melanggar atau tidak, tapi bagaimana kami menindaklanjuti pelanggaran administrasi dengan memperhatikan hak politik setiap calon,” ujarnya.
Meski demikian, para demonstran tetap menilai kehadiran pejabat KPU Sulsel di Palopo sebagai pemicu kegaduhan politik. “Pihak komisioner KPU Sulsel hadir di Palopo hanya untuk mengobok-obok demokrasi,” seru orator aksi, Feriyanto, di tengah kerumunan massa.
Situasi di Palopo mencerminkan betapa rapuhnya kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara pemilu. Di satu sisi, KPU bersandar pada legalitas formal, prosedur, dan arahan dari pusat. Namun di sisi lain, masyarakat menuntut moralitas, transparansi, dan keberpihakan pada prinsip keadilan demokrasi.
Kisruh ini mengindikasikan bahwa persoalan dalam demokrasi lokal bukan hanya soal teknis administratif, tetapi juga menyangkut persepsi publik terhadap integritas dan kejujuran penyelenggara. PSU nanti tak hanya menjadi ajang memilih ulang, tapi juga uji kepercayaan: apakah demokrasi lokal bisa diselamatkan, atau malah makin tercabik oleh krisis legitimasi?
Comment