Oleh: Dahlan
Komisioner Bawaslu Kabupaten Biak Numfor / Dosen IISIP YAPIS Biak
LENSAMERDEKA.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan dilaksanakannya Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Provinsi Papua adalah bagian dari proses hukum dalam pemilu. Namun lebih dari itu, PSU merupakan bentuk koreksi konstitusional terhadap jalannya demokrasi yang belum sempurna. Dalam konteks Papua yang memiliki keragaman budaya, topografi yang menantang, serta dinamika sosial-politik yang kompleks, pelaksanaan PSU menjadi tantangan tersendiri bagi integritas dan profesionalisme penyelenggara pemilu.
Sebagaimana diketahui, Papua menjadi salah satu provinsi yang diwajibkan melaksanakan PSU berdasarkan Putusan MK Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025 yang dibacakan pada 24 Februari 2025. Mahkamah memberikan waktu maksimal 180 hari sejak putusan dibacakan untuk melaksanakan PSU. Menindaklanjuti hal itu, KPU Provinsi Papua melalui Keputusan Nomor 16 Tahun 2025 menetapkan bahwa PSU akan dilaksanakan pada Rabu, 6 Agustus 2025. Keputusan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan PSU bukan hanya mandat hukum, tetapi juga langkah pemulihan demokrasi di Papua.
Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya telah menegaskan bahwa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar pemilu dapat membatalkan hasil pemilu dan mewajibkan PSU. Di Papua, pelanggaran ini kerap terjadi bukan hanya karena niat buruk, tetapi juga karena kompleksitas wilayah dan terbatasnya kapasitas teknis penyelenggara.
Namun apa pun penyebabnya, ketika MK telah menjatuhkan putusan, maka pelaksanaan PSU menjadi kewajiban mutlak bagi semua pihak. Tidak boleh ada penundaan, pengabaian, apalagi pengerdilan atas keputusan tersebut. Dalam hal ini, penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa PSU berjalan adil, bersih, transparan, dan akuntabel.
Integritas penyelenggara pemilu sebagai syarat mutlak di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap proses pemilu di Papua, PSU harus dijalankan dengan standar integritas tertinggi. Integritas ini mencakup netralitas penyelenggara, partisipasi pemilih yang utuh, hingga pengawasan yang melekat dan efektif.
Tidak bisa dimungkiri, pelaksanaan pemilu di Papua kerap menghadapi persoalan sistem sosial budaya dan minimnya literasi pemilih. Karena itu, penyelenggara harus cermat membaca konteks sosiokultural dan membangun komunikasi dengan tokoh adat, tokoh agama, dan pemuda. PSU bukan hanya soal perhitungan suara ulang, tetapi juga pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.
Bawaslu memiliki peran strategis dalam memastikan PSU berlangsung sesuai asas Luber dan Jurdil. Pengawasan harus dilakukan secara menyeluruh mulai dari rekrutmen PPK, PPD, KPPS, distribusi logistik, hingga pemungutan dan rekapitulasi suara. Selain itu, Bawaslu harus mengambil peran edukatif: membangun kesadaran masyarakat bahwa PSU adalah peluang memperbaiki kesalahan, bukan medan konflik baru.
Bawaslu juga perlu membuka ruang partisipasi masyarakat adat dalam pengawasan berbasis komunitas. Dengan begitu, pengawasan tidak hanya bersifat vertikal (top-down), tetapi juga horizontal, berbasis nilai dan kebersamaan masyarakat Papua. Dalam konteks Papua yang unik, PSU harus dijalankan dengan kehati-hatian, sensitivitas budaya, dan dedikasi penuh terhadap keadilan elektoral. Hanya dengan begitu kita bisa menjadikan demokrasi benar-benar hadir dan bermakna di Tanah Papua.
Comment