JAKARTA, LENSAMERDEKA.COM – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Heddy Lugito, menyoroti meningkatnya indikasi praktik politik uang dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) pemilihan kepala daerah yang digelar usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, ia juga mengungkap adanya perbedaan penafsiran aturan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berpotensi menimbulkan persoalan etik.
Dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI di Jakarta pada Senin (5/5/2025), Heddy menyatakan bahwa praktik politik uang justru tampak lebih mencolok dalam pelaksanaan PSU dibandingkan pilkada reguler. Ia mencontohkan pelaksanaan PSU di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, pada 22 Maret 2025, yang menunjukkan lonjakan partisipasi pemilih secara tidak lazim.
“Dalam pelaksanaan PSU ini justru semakin mengemuka politik uang,” ujarnya.
Menurut Heddy, partisipasi pemilih dalam PSU Magetan jauh melampaui angka pada pilkada serentak 27 November 2024. Antrean panjang warga yang ingin memberikan suara sudah terlihat sejak pukul 07.00 pagi di empat TPS yang menggelar PSU, kondisi yang tidak umum dibandingkan pelaksanaan pilkada sebelumnya.
“Pemilih di Kabupaten Magetan itu jam 07.00 sudah antri panjang. Selain partisipasi yang tinggi, juga bisa mengindikasikan yang lain. Pada pilkada saja tidak sebesar itu, justru PSU antriannya panjang sekali,” jelasnya.
Di samping isu politik uang, Heddy menyinggung perbedaan interpretasi regulasi antara KPU dan Bawaslu yang dinilainya berkontribusi pada sejumlah pengaduan ke DKPP. Perbedaan tafsir tersebut meliputi isu krusial, seperti syarat pencalonan kepala daerah, status mantan narapidana, hingga ketentuan masa jabatan dua periode.
“Misalnya soal batasan dua periode masa jabatan, masih beda penafsiran antara KPU dan Bawaslu. Ke depan ini harus menjadi perhatian kita semua, yang dimaksud dengan dua periode itu seperti apa,” tegas Heddy.
DKPP, lanjutnya, telah menerima 16 pengaduan terkait pelaksanaan PSU pasca putusan MK. Saat ini, seluruh laporan masih dalam proses verifikasi, baik secara administratif maupun materiel. Belum ada satu pun yang dijadwalkan untuk persidangan.
Pengaduan tersebut datang dari berbagai daerah, yakni Kabupaten Banggai (2 laporan), Barito Utara (3), Buru (1), Kutai Kartanegara (3), Empat Lawang (2), Tasikmalaya (3), Mahakam Ulu (1), serta satu pengaduan dari Provinsi Papua.
“Pengaduan masih kita proses sehingga belum dijadwalkan untuk digelar persidangan,” pungkasnya.
Comment