MAKASSAR, LENSAMERDEKA.COM — Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) mengusulkan sembilan daerah sebagai lokasi pembangunan sekolah rakyat permanen, yang rencananya akan dimulai secara nasional pada Agustus 2025. Dari sembilan wilayah tersebut, dua di antaranya—Bone dan Sidrap—telah mendapat persetujuan lebih awal dari pemerintah pusat.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas Sosial Sulsel, Abdul Malik Faisal, saat diwawancarai wartawan pada Selasa, 1 Juli 2025. Ia menyebut, tujuh daerah lainnya yang sedang menyusul pengusulan adalah Barru, Soppeng, Luwu Timur, Luwu Utara, Pangkep, Selayar, dan Bulukumba.
“Saya optimis bisa masuk. Soppeng, Luwu Utara, Luwu Timur, Barru, Selayar, Pangkep, Sinjai, Luwu, Bulukumba. Tahun ini mudah-mudahan,” ujar Malik.
Program sekolah rakyat permanen merupakan kelanjutan dari model sekolah rakyat rintisan yang saat ini sudah berjalan di 15 titik di Sulsel. Menurut Malik, status rintisan hanya berlaku satu tahun. Tahun ajaran 2026–2027, seluruh siswa harus dipindahkan ke sekolah rakyat permanen.
Untuk bisa mendapatkan sekolah rakyat permanen, setiap kabupaten/kota diwajibkan menyediakan lahan seluas 7,6 hektare yang dihibahkan ke pemerintah pusat. Sayangnya, kriteria teknis ini menjadi kendala utama di banyak daerah.
“Untuk pengusulan sekolah rakyat permanen ini memang ada beberapa kendala. Itu disebabkan karena beberapa daerah tidak memenuhi syarat tanah atau lahan yang diusulkan,” jelas Malik.
Ia mencontohkan Enrekang yang mengajukan lokasi miring dan terpencil tanpa fasilitas dasar seperti listrik. Sementara itu, Bantaeng dan Maros terkendala karena status kepemilikan lahan bukan milik pemerintah daerah. Di Wajo, kepala daerah belum menunjukkan komitmen membuka akses jalan ke lokasi yang diusulkan.
“Lalu ada daerah yang terlambat mengusulkan, seperti Selayar, Luwu Utara, dan Luwu Timur. Ada juga yang belum mengusulkan sama sekali karena kesulitan mencari lahan seluas 7,6 hektare seperti Makassar dan Parepare. Kemudian ada daerah yang tidak paham mekanisme pengusulan, seperti Jeneponto, Toraja Utara, Pinrang, Gowa, dan Palopo,” lanjutnya.
Abdul Malik menegaskan bahwa dalam program nasional ini, pemerintah pusat menerapkan prinsip kecepatan dan kesiapan. Presiden menargetkan pembangunan 100 sekolah rakyat permanen setiap tahun dari total sekitar 550 kabupaten/kota di Indonesia.
“Siapa yang cepat, siapa tepat, siapa yang benar, dia didahulukan. Ini jadi persoalan. Kalau umpamanya tidak dibangunkan permanen, nanti tahun depan di mana anak-anak ini mau disekolahkan,” tegasnya.
Sistem zonasi juga diberlakukan. Siswa hanya diperbolehkan bersekolah di sekolah rakyat permanen yang dibangun di daerah asal mereka, kecuali jika sekolah tersebut dibangun oleh provinsi. Dalam hal itu, siswa dari seluruh kabupaten/kota di Sulsel bisa mendaftar.
Sebagai tahap awal, Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan meresmikan 15 sekolah rakyat rintisan di Sulsel pada 14 Juli 2025. Sekolah-sekolah tersebut akan menampung sebanyak 1.750 siswa dari total 20.000 siswa secara nasional.
Menurut Abdul Malik, sekolah rakyat rintisan ini dibagi dalam tiga kategori: 1A yang seluruhnya difasilitasi oleh Kementerian Sosial, 1B dari pemerintah daerah, dan 1C yang memanfaatkan fasilitas Balai Latihan Kerja (BLK).
“Ada 4 sentra yang disiapkan oleh Kementerian Sosial. Ada 1 di Gowa, 1 di Takalar, kemudian ada 2 di Makassar. Kemudian ada juga di Balai Latihan Kerja (BLK), masing-masing ada di Bone dan Parepare. Lalu ada yang disiapkan oleh pemerintah daerah, 2 di Sinjai, Makassar, Barru, Sidrap, Wajo, dan Soppeng masing-masing 1 sekolah,” jelas Malik.
Ia menambahkan bahwa rekrutmen siswa untuk kategori 1A dan 1B telah selesai. Sementara kategori 1C masih dalam proses seleksi yang ditarget rampung Juli ini.
“Rekrutan siswa itu sudah 1A sampai 1B sudah siap. Sudah ada siswanya. Khusus kami yang disiapkan pemerintah provinsi itu di BPSDM ada 150 siswa. 1C yang sekarang berproses. Berproses nanti di Juli baru menetapkan,” katanya.
Program sekolah rakyat menjadi salah satu terobosan besar dalam strategi penanggulangan kemiskinan struktural. Tak sekadar menyediakan pendidikan gratis, sekolah ini juga dirancang berasrama, agar peserta didik dari keluarga prasejahtera bisa fokus belajar dan mendapat pembinaan karakter serta keterampilan hidup.
Namun, implementasinya menuntut kesiapan dan komitmen serius dari pemerintah daerah. Tanpa pemenuhan syarat lahan dan aksesibilitas, daerah-daerah bisa kehilangan kesempatan menjadi bagian dari program ini—dan itu berarti mengorbankan peluang generasi muda untuk keluar dari kemiskinan.
Comment