JAKARTA, LENSAMERDEKA.COM — Anggota Komisi I DPR RI, Oleh Soleh, mengusulkan agar penggunaan akun ganda atau anonim di media sosial dilarang melalui regulasi resmi. Usulan itu ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama perwakilan platform digital seperti Google, YouTube, Meta, dan TikTok, pada Senin (15/7).
Menurut Oleh, praktik penggunaan akun ganda telah menjadi salah satu sumber kerusakan dalam ruang digital. Ia menilai akun-akun anonim kerap digunakan untuk menyebarkan hoaks, menciptakan disinformasi, hingga mengarahkan opini publik secara manipulatif.
“Platform digital tidak boleh membuat akun ganda. Saya minta ini dimasukkan dalam RUU Penyiaran,” tegas Oleh dalam forum. “Secara umum, akun ganda ini justru menjadi ancaman dan bahkan merusak.”
Politikus tersebut juga menekankan bahwa larangan seharusnya berlaku bagi semua pihak—baik individu, lembaga, maupun korporasi—untuk mendukung penegakan hukum digital dan mempermudah platform dalam mengelola konten bermasalah.
Merespons pernyataan DPR, Kepala Kebijakan Publik Meta Indonesia, Berni Moestafa, menyatakan bahwa pihaknya telah menerapkan larangan terhadap akun palsu maupun akun yang meniru identitas orang lain. Namun, ia mengakui bahwa penerapan kebijakan itu belum mampu sepenuhnya menekan peredaran akun ganda di berbagai platform Meta, termasuk Facebook, Instagram, dan Threads.
“Buat kami, akun ganda itu sebenarnya dilarang. Yang kami tekankan adalah user yang otentik. Kalau ada akun yang mengimpersonasi user lain, itu pelanggaran,” jelas Berni.
Meta mengklaim memiliki sistem untuk menghapus akun-akun tidak autentik, khususnya jika digunakan untuk impersonasi atau aktivitas anonim yang melanggar ketentuan. Namun, efektivitasnya masih menghadapi tantangan teknis maupun sosial.
Usulan pelarangan akun ganda ini memicu perdebatan di ruang publik. Di satu sisi, langkah tersebut dianggap sejalan dengan upaya menertibkan ekosistem digital yang rentan disalahgunakan, terutama menjelang momen politik seperti pemilu. Namun di sisi lain, sejumlah pegiat privasi dan pakar digital menilai bahwa pembatasan seperti ini bisa berbenturan dengan hak atas privasi dan kebebasan berekspresi.
Banyak pengguna memiliki akun kedua bukan untuk tujuan manipulatif, melainkan untuk alasan fungsional: memisahkan ranah pribadi dan profesional, melindungi identitas dalam konteks sensitif, atau menciptakan ruang aman bagi kelompok marginal.
Selain itu, belum jelas bagaimana penerapan larangan tersebut akan dilakukan secara teknis. Siapa yang berwenang menentukan apakah suatu akun dianggap ganda atau merusak? Bagaimana perlindungan bagi pengguna yang anonim demi keselamatan diri?
RUU Penyiaran yang tengah dibahas DPR memang dirancang untuk merespons perkembangan era digital, termasuk perubahan lanskap media yang kini melibatkan platform-platform global. Namun, usulan pelarangan akun ganda menjadi sinyal bahwa pertarungan antara pengendalian ruang digital dan perlindungan kebebasan sipil akan semakin kompleks ke depannya.
Selagi pembahasan beleid ini berlangsung, usulan tersebut membuka ruang diskusi publik yang lebih luas: bagaimana menciptakan internet yang aman tanpa mengorbankan hak-hak dasar penggunanya?
Comment