Oleh: Muhammad Rafly Tanda
LENSAMERDEKA.COM – Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, kita kembali diajak merenung: sejauh mana bangsa ini benar-benar memahami makna “merdeka”? Kemerdekaan bukan hanya tentang terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari belenggu ketakutan, ketidaktahuan, dan ketertutupan terhadap keberagaman ekspresi. Dan pertanyaan itu kini mencuat dalam satu persoalan yang tampak remeh namun menggambarkan problem mendalam: soal bendera bajak laut One Piece.
Belakangan, simbol tengkorak dan tulang bersilang dari serial anime One Piece yang oleh para penggemarnya dikenal sebagai Jolly Roger dipersoalkan. Ada sekolah yang melarang, ada otoritas yang mewanti-wanti, bahkan sebagian publik yang merasa simbol ini tidak pantas ditampilkan di ruang-ruang yang diisi oleh anak bangsa.
Mengapa bendera fiksi bisa membuat negara cemas? Inilah pertanyaan mendasarnya.
Simbol, Ketakutan, dan Tafsir yang Terlalu Sempit
Secara historis, simbol bajak laut memang punya akar yang menakutkan terkait perompakan dan kekerasan. Tapi dalam konteks budaya pop modern, khususnya dalam semesta One Piece, simbol itu telah bergeser maknanya. Ia menjadi simbol kebebasan melawan ketidakadilan, perlawanan terhadap sistem yang sewenang-wenang, dan perjuangan untuk menemukan “harta karun” dalam bentuk kehidupan yang lebih adil dan bermakna.
Namun, di tangan tafsir otoritas yang miskin literasi budaya, simbol ini direduksi menjadi ancaman. Kita menyaksikan bagaimana negara masih melihat ekspresi kreatif dari generasi muda dengan kacamata kecurigaan. Simbol fiksi dianggap sebagai bentuk pembangkangan, padahal ia justru menyuarakan semangat yang telah lama hilang dalam praktik bernegara: semangat keberanian untuk berbeda dan berpikir bebas.
Kemerdekaan Tidak Cukup Diperingati – Harus Dimaknai
Apa gunanya kita mengibarkan Sang Merah Putih setiap 17 Agustus, jika pada saat yang sama kita masih takut terhadap imajinasi anak-anak bangsa? Apa arti kemerdekaan jika negara masih terburu-buru melarang sebelum memahami?
Kemerdekaan sejati menuntut negara untuk menjadi dewasa dalam berpikir, tenang dalam merespons, dan bijak dalam menghadapi perbedaan. Ketika negara sibuk melabeli simbol sebagai ancaman tanpa memahami konteks dan maknanya, yang sebenarnya terjadi adalah kemunduran berpikir, bukan kemajuan kebudayaan.
Paradigma Baru: Dari Reaktif Menuju Reflektif
Sudah saatnya kita mengubah cara pandang. Isu bendera bajak laut One Piece bukan sekadar soal anime, tapi tentang bagaimana negara memosisikan diri di tengah dinamika budaya yang terus berkembang. Negara tidak perlu menjadi polisi simbol. Yang kita butuhkan adalah negara yang mendidik, bukan melarang; yang menjelaskan, bukan menakuti; yang membuka dialog, bukan menutup ruang.
Paradigma baru ini menempatkan negara sebagai mitra pembentukan karakter anak muda—yang justru bisa belajar tentang keberanian, solidaritas, dan perjuangan dari tokoh-tokoh fiksi. Jika nilai-nilai itu diperkuat melalui pendekatan kritis dan reflektif, maka simbol seperti Jolly Roger tidak akan menjadi ancaman, melainkan pintu masuk untuk mendiskusikan banyak hal: tentang keadilan, tentang moral, tentang sistem yang timpang, bahkan tentang cita-cita kemerdekaan itu sendiri.
Penutup: Mari Kita Merdeka Secara Penuh
Bendera One Piece tidak akan pernah menggantikan Merah Putih. Tapi justru dari cara kita merespons bendera fiksi itu, akan terlihat sejauh mana kita benar-benar merdeka. Jika kita masih mudah panik pada simbol, alergi terhadap kebebasan berekspresi, dan takut pada imajinasi, maka bisa jadi yang kita rayakan setiap tahun hanyalah kemerdekaan administratif, bukan kemerdekaan sebagai bangsa yang berpikir.
Mari kita rayakan kemerdekaan tahun ini dengan membangun paradigma yang konstruktif: bahwa negara tidak boleh kalah oleh tafsir yang sempit. Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang berani berdialog dengan siapa pun, bahkan dengan simbol sekalipun.
Comment