Tinjauan Kritis Menavigasi Gejolak Sosial-Politik: Gelombang Demonstrasi yang Melanda Indonesia

Oleh : Ahmad Taufik, S.IP,. M.AP 

(Dosen Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Unismuh Makassar)

LENSAMERDEKA.COM – Fenomena mengenai gelombang demonstrasi yang melanda Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan kelanjutan dari akumulasi ketidakpuasan publik yang telah terlihat sejak awal tahun, ditandai oleh protes-protes terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI, RUU Polri, dan RUU Penyiaran. Rentetan peristiwa ini menjadi indikasi awal dari adanya ketegangan antara aspirasi masyarakat sipil dan agenda yang berkuasa.

Demonstrasi massal yang mengguncang Indonesia pada bulan Agustus 2025 ini dipicu oleh serangkaian isu yang secara langsung menyentuh kepekaan publik, terutama terkait dengan ketidakadilan ekonomi dan kesenjangan sosial. Pemicu utama yang membakar amarah publik adalah kontroversi seputar kenaikan tunjangan perumahan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang dilaporkan mencapai angka Rp50 juta per bulan atau setara dengan sekitar USD 3,000. Kenaikan tunjangan yang dianggap berlebihan ini muncul di tengah kesulitan ekonomi yang dirasakan masyarakat, yang dibebani oleh kenaikan pajak baru dan masalah pengangguran yang meresahkan.

Kemudian berlanjut kritik tajam para anggota DPR setelah aksi goyang mereka di Gedung DPR RI beredar luas di media sosial. Video tersebut dimaknai bahwa para wakil rakyat yang seharusnya menjadi teladan, justru asyik berjoget ria di tengah isu-isu penting yang sedang dihadapi bangsa. Aksi ini dinilai sangat tidak etis dan tidak peka terhadap penderitaan rakya. Kontras tajam ini memicu sentimen bahwa para elit politik hidup mewah di tengah penderitaan rakyat.

Aksi protes juga digerakkan oleh tuntutan yang bersifat lebih substantif terkait kesejahteraan. Serikat buruh dan pengemudi ojek turut serta dalam demonstrasi, menuntut kenaikan upah minimum sebesar 8,5% hingga 10,5% untuk tahun 2026. Tuntutan ini secara jelas menunjukkan bahwa demonstrasi memiliki akar yang kuat pada isu-isu ekonomi makro yang selama ini kurang mendapat perhatian. Dari sudut pandang politik pemerintahan, isu ini menjadi tantangan serius bagi narasi populis yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto. Program-program seperti “makanan bergizi gratis” yang dicanangkan untuk mengatasi masalah sosial menjadi terasa kontradiktif ketika pada saat yang sama, DPR- yang didominasi oleh koalisi pendukung pemerintah-meloloskan kebijakan yang dianggap hanya menguntungkan diri mereka sendiri.

Kontradiksi ini menciptakan disonansi kognitif di mata publik, secara efektif merusak kredibilitas narasi pemerintah dan menjadi pemicu kemarahan yang lebih besar. Protes yang seharusnya berfokus pada DPR dengan cepat mengarah pada kritik terhadap seluruh “sistem” dan, pada akhirnya, pemerintahan.

Eskalasi Emosional dan Populisme Jalanan

Gelombang demonstrasi mengambil alih dimensi yang jauh lebih serius menyusul tragedi yang terjadi pada 28 Agustus 2025. Kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring berusia 21 tahun yang tidak terlibat dalam protes, setelah dilindas oleh kendaraan taktis Brimob, menjadi titik balik yang signifikan. Insiden ini mengubah wajah demonstrasi dari sekadar ketidaksetujuan kebijakan menjadi kemarahan moral terhadap kebrutalan aparat dan ketidakadilan. Kematian Affan menjadi simbol perjuangan rakyat kecil melawan kekuasaan yang represif dan memicu gelombang duka dan solidaritas yang meluas.

Setelah insiden ini, demonstrasi bertransformasi dari gerakan politik-institusional menjadi gerakan moral-populis. Jika tuntutan awal berfokus pada reformasi DPR, audit BUMN, dan pengesahan RUU Perampasan Aset , maka pasca-kematian Affan, muncul tuntutan baru yang lebih berorientasi pada keadilan: pembebasan seluruh demonstran yang ditangkap dan reformasi kepolisian. Kematian Affan disandingkan dengan kematian warga sipil lain dalam insiden serupa di berbagai daerah seperti Makassar, menunjukkan pola penanganan represif yang sistemik. Aksi-aksi kekerasan yang terjadi seperti pembakaran ban dan penjarahan dapat diinterpretasikan bukan hanya sebagai anarki, tetapi juga sebagai manifestasi dari keputusasaan dan kemarahan yang mendalam akibat kegagalan pemerintah dalam melindungi warganya. Respons pemerintah kini harus lebih dari sekadar kebijakan; ia harus mengelola emosi dan moral publik yang terluka.

Narasi “Stabilitas & Ketegasan” Presiden Prabowo

Dalam menanggapi gelombang protes, respons eksekutif, yang diwakili oleh Presiden Prabowo Subianto, dibangun di atas narasi yang jelas dan kuat: menghormati hak berpendapat sambil menindak tegas tindakan anarki. Presiden secara eksplisit membedakan antara demonstran “murni yang baik” yang haknya harus dilindungi oleh aparat, dan “perusuh” yang berniat “membakar” dan melakukan tindakan yang merugikan publik. Beliau menegaskan bahwa pemerintah menghormati aspirasi yang disampaikan secara damai, namun akan bertindak tegas terhadap aksi yang melampaui batas kepatutan, seperti pembakaran dan penjarahan.

Dalam pernyataan publiknya, Presiden menegaskan bahwa ia memiliki mandat dari rakyat dan disumpah untuk menjalankan undang-undang dasar, dan oleh karena itu tidak akan mundur menghadapi tantangan ini. Pernyataan ini adalah pesan politik yang kuat, menolak interpretasi bahwa protes tersebut adalah penolakan terhadap kepemimpinannya. Kunjungan strategis ke rumah sakit untuk menjenguk korban dari aparat keamanan dan masyarakat umum yang terluka juga merupakan langkah simbolis untuk memperkuat narasi bahwa pemerintah melindungi aparatnya dari tindakan perusuh. Lebih jauh lagi, Presiden mengklaim akan membela rakyat dan memberantas “mafia” serta korupsi tanpa kompromi. Ini adalah upaya untuk menyerap (kooptasi) sebagian tuntutan demonstran, seperti pengesahan RUU Perampasan Aset, dan mengklaimnya sebagai bagian dari agenda pemerintah sendiri. Strategi ini memungkinkan pemerintah untuk menunjukkan “respons” terhadap keluhan publik tanpa harus mengakui bahwa kebijakan awal mereka salah, mengalihkan fokus dari “pemerintah yang tidak sensitif” menjadi “pemerintah yang berjuang melawan musuh bersama” (mafia, koruptor, perusuh).

Paralel dengan respons eksekutif, pihak legislatif juga mengambil langkah-langkah untuk meredam ketegangan. Ketua DPR RI, Puan Maharani, bersikap lebih lunak dan akomodatif dibandingkan narasi Presiden. Ia menyatakan bahwa DPR akan menerima semua aspirasi dan masukan dari masyarakat untuk membantu memperbaiki kinerja lembaga.Puncak dari respons ini adalah ketika DPR secara resmi menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat karena “belum sepenuhnya mampu menjalankan tugas sebagai wakil rakyat”.

Pola komunikasi yang berbeda ini dapat dianalisis sebagai taktik yang disengaja dalam manajemen krisis. Terdapat perbedaan mencolok antara nada tegas Presiden yang menindak makar dan narasi Ketua DPR yang meminta maaf dan mengundang dialog. Perbedaan ini bisa jadi merupakan pola “polisi baik, polisi jahat” (good cop, bad cop) yang memungkinkan koalisi pemerintahan untuk mengelola krisis dari dua sisi yang berbeda. Puan, sebagai perwakilan langsung dari lembaga yang menjadi target utama protes, mengambil peran “polisi baik” untuk meredakan tensi dan menjembatani dialog, sementara Presiden menjaga citra otoritas dan stabilitas. Hal ini memungkinkan pemerintahan dan koalisi pendukungnya untuk menawarkan dialog sekaligus menjanjikan ketegasan, menciptakan ruang manuver politik yang lebih luas dalam menghadapi gejolak.

Respons yang Diperdebatkan dan Pertanggung jawaban

Respons aparat keamanan menjadi salah satu titik paling krusial dalam krisis ini. Tindakan-tindakan seperti penangkapan massal, yang diperkirakan mencapai 600 mahasiswa di berbagai lokasi, pencegahan mobilisasi massa (seperti mengintersep 197 pelajar di Bogor), serta penggunaan gas air mata dan meriam air, menimbulkan perdebatan luas. Di sisi lain, laporan kerugian material yang mencapai hampir Rp900 miliar akibat aksi anarki menjadi pembenaran bagi narasi pemerintah tentang perlunya tindakan tegas.

Namun, kasus kematian Affan Kurniawan membalikkan narasi tersebut. Untuk menanggapi kemarahan publik, pemerintah menunjukkan langkah-langkah pertanggungjawaban. Komnas HAM diundang untuk mengikuti gelar perkara kasus Affan, dan Kompolnas mengonfirmasi bahwa tujuh anggota Brimob telah diperiksa, dengan dua di antaranya terindikasi melakukan pelanggaran berat. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah dan aparat berupaya untuk memulihkan kepercayaan publik dengan menunjukkan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas.

Pemerintah menghadapi dilema antara menjamin hak kebebasan berekspresi dan menjaga stabilitas keamanan. Pernyataan Presiden bahwa tindakan anarki adalah makar dan tudingan adanya “kelompok tertentu” yang secara terencana menciptakan kerusuhan mengindikasikan bahwa pemerintah melihat protes ini bukan sekadar spontanitas, melainkan ancaman terorganisir. Narasi ini memungkinkan pemerintah untuk mengesampingkan kritik terhadap penanganan represif dan memfokuskan perhatian pada “ancaman” terhadap negara. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh kasus Affan Kurniawan, kegagalan dalam penanganan keamanan dapat membalikkan narasi tersebut, menempatkan aparat sebagai bagian dari masalah alih-alih pelindung rakyat.

Alarm untuk Reformasi Tata Kelola, demonstrasi tidak hanya memunculkan isu-isu reaksioner, tetapi juga tuntutan yang lebih dalam dan berorientasi pada reformasi sistemik. Massa aksi menuntut pengesahan RUU Perampasan Aset, audit menyeluruh BUMN, reformasi DPR, dan perbaikan kesejahteraan guru. Tuntutan ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya mengkritik satu kebijakan, melainkan melihat adanya masalah struktural yang lebih dalam.Fenomena ini adalah “alarm keras” bagi pemerintah dan lembaga negara.

Tuntutan ini menempatkan tekanan politik jangka panjang yang signifikan pada kabinet untuk tidak hanya memadamkan api, tetapi juga mengatasi akar masalah yang telah berakar lama. Kegagalan untuk menindaklanjuti tuntutan ini secara substantif berpotensi memicu gelombang protes yang lebih besar di masa depan, karena ketidakpuasan masyarakat telah bergeser dari isu sektoral menjadi krisis kepercayaan terhadap institusi negara.

Dinamika Antar-Lembaga dan Posisi Politik Elit

Krisis demonstrasi ini juga memengaruhi dinamika politik internal dan eksternal pemerintahan. Pertemuan Presiden Prabowo dengan pimpinan partai-partai koalisi menunjukkan urgensi untuk menyatukan barisan dan memperkuat stabilitas. Para pengamat politik, seperti Adi Prayitno, menyoroti pentingnya langkah ini untuk menjaga soliditas di tengah gejolak.

Di sisi lain, respons dari tokoh politik di luar lingkaran pemerintahan menunjukkan kalkulasi yang cermat. Anies Baswedan mengimbau massa untuk berdemo secara damai dan tertib, menunjukkan sikap hati-hati dan menghindari posisi yang terlalu keras. Sementara itu, reaksi Ganjar Pranowo melalui media sosial dengan postingan duka dan dua kata “no words” mengindikasikan bahwa ia memilih untuk menunjukkan empati tanpa secara eksplisit mendukung atau menentang gerakan.

Setiap tokoh politik menggunakan panggung demonstrasi ini untuk memposisikan diri. Prabowo memperkuat citra pemimpin kuat, Puan membangun jembatan dengan publik, sementara tokoh lain mengamati dari jauh dan menunggu momen yang tepat. Demonstrasi ini menjadi ujian terhadap stabilitas politik koalisi pemerintahan dan sebuah panggung bagi elit politik untuk memposisikan diri untuk pertempuran politik berikutnya.

Memprediksi “Musim Protes” yang Berkelanjutan

Ketidakpuasan publik tidak akan berakhir dengan meredanya demonstrasi . Tuntutan yang mendasar terkait reformasi institusi, kesejahteraan, dan keadilan akan terus menjadi isu panas. Aktivisme saat ini menunjukkan pola yang lebih terorganisir, terhubung, dan memiliki daya tahan yang tinggi, sebagaimana terlihat dari mobilisasi yang dikoordinasikan via grup WhatsApp dan adanya “ultimatum 7 hari” kepada pemerintah dan DPR. Taktik lama pemerintah untuk meredam protes, seperti penahanan massal, mungkin tidak lagi cukup untuk mengatasi gerakan yang memiliki daya tahan ini. Oleh karena itu, pemerintah harus bersiap menghadapi “musim protes” yang berkelanjutan jika akar masalah tidak diatasi.

Demonstrasi bukanlah sekadar gelombang protes, melainkan manifestasi dari krisis kepercayaan yang mendalam terhadap institusi negara. Respons politik pemerintah, yang berfokus pada narasi “stabilitas dan ketegasan” sambil mengkooptasi sebagian tuntutan, mungkin berhasil meredam gejolak dalam jangka pendek. Namun, pendekatan ini bersifat reaktif dan tidak mengatasi akar masalah. Tantangan sesungguhnya bagi pemerintahan adalah mengatasi masalah struktural yang telah berakar lama, seperti isu kesenjangan ekonomi, tata kelola yang buruk, dan kurangnya akuntabilitas institusi. Kegagalan untuk melakukan reformasi substantif akan membiarkan “alarm keras” terus berbunyi, berpotensi memicu ketidakstabilan politik yang lebih besar di masa depan. Hal ini menunjukkan bahwa hanya dengan mengambil langkah-langkah proaktif dan berani untuk mengatasi akar masalah, pemerintah dapat membangun kembali kepercayaan publik dan memastikan stabilitas nasional dalam jangka panjang.(*)

Comment