Oleh: Dahlan
Komisioner Bawaslu Kabupaten Biak Numfor/Dosen IISIP YAPIS Biak
LENSAMERDEKA.COM – Dalam suatu negara demokrasi, pemilihan umum adalah cara yang sah untuk mengalihkan kekuasaan dan ekspresi kedaulatan rakyat. Di dalamnya, pengawasan pemilu menjadi alat penting untuk menjamin bahwa setiap langkah dilakukan dengan cara yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Namun, di daerah dengan status khusus seperti Papua, pengawasan pemilu menghadapi banyak tantangan sosial, budaya, geografis, dan politik di luar aturan formal. Hal ini menyebabkan konflik antara regulasi universal dan keadaan lokal.
Khusus Papua, termasuk Kabupaten Biak Numfor, diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021. Spesialisasi ini memungkinkan pengakuan identitas, hak, dan budaya orang Papua dalam berbagai aspek kehidupan mereka, seperti tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik. Spesialisasi ini membuat pendekatan pengawasan yang tidak hanya normatif tetapi juga kontekstual diperlukan dalam konteks pemilu.
Di sisi normatif, pengawasan pemilu telah diatur secara rinci dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Bawaslu bertanggung jawab atas pencegahan, pengawasan, dan penindakan pelanggaran selama seluruh proses pemilu. Namun, pelaksanaan di wilayah tertentu seperti Kabupaten Biak Numfor tidak selalu sesuai dengan persyaratan normatif tersebut. Pengawasan secara real-time menjadi sulit karena masalah struktural seperti batasan geografis, batasan infrastruktur, dan kurangnya jaringan komunikasi di beberapa distrik. Dalam situasi seperti ini, pengawasan sangat bergantung pada kinerja pengawas adhoc dan kolaborasi antar lembaga.
Selain itu, kenyataan sosial dan budaya Papua di Kabupaten Biak Numfor menuntut model pengawasan yang lebih peka terhadap keadaan lokal. Tokoh masyarakat, kepala adat, tokoh perempuan dan pemuka agama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap preferensi politik masyarakat di banyak komunitas adat. Pengawas pemilu menghadapi dilema unik karena fenomena ini, terutama dalam membedakan antara ekspresi kultural yang sah dengan tekanan sosial yang dapat mempengaruhi pemilih. Misalnya, mobilisasi suara yang didasarkan pada hubungan kekeluargaan atau adat dapat dianggap sebagai bagian dari kultur politik lokal, tetapi jika dilihat dari sudut pandang regulasi, hal itu dapat dianggap sebagai pelanggaran.
Situasi tersebut menunjukkan adanya “kesenjangan interpretasi” antara norma hukum nasional dengan tafsir lokal atas demokrasi. Oleh karena itu, pengawasan pemilu di Papua tidak cukup mengandalkan pendekatan legalistik semata, tetapi juga membutuhkan pendekatan sosiologis dan antropologis. Ini menuntut kapasitas pengawas untuk tidak hanya memahami hukum, tetapi juga memahami masyarakat yang diawasi. Dalam konteks ini, relevan untuk mengacu pada Street-Level Bureaucracy Theory yang dikembangkan oleh Michael Lipsky, yang menyatakan bahwa aktor birokrasi di level bawah seperti pengawas lapangan memegang peran kunci dalam implementasi kebijakan karena mereka berhadapan langsung dengan kompleksitas sosial yang tidak selalu dapat dijangkau oleh kebijakan yang bersifat sentralistik. Dengan kata lain, mereka tidak hanya menjalankan aturan, tetapi juga melakukan interpretasi dan adaptasi terhadap situasi riil yang mereka hadapi. Maka, pendidikan politik bagi pengawas, peserta, dan masyarakat menjadi instrumen strategis yang tak bisa diabaikan.
Bawaslu Kabupaten Biak Numfor telah mengembangkan metode pengawasan partisipatif yang berbasis kearifan lokal untuk menangani situasi tersebut. Untuk mencapai tujuan ini, tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh perempuan serta pemuda dilibatkan dalam proses pendidikan dan pengawasan pemilu. Metode ini digunakan untuk meningkatkan rasa kepemilikan kolektif atas proses demokrasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pengawasan partisipatif. Selain itu, pendekatan ini memungkinkan pengawas dan masyarakat lokal untuk berbicara satu sama lain tentang prinsip demokrasi dan integritas pemilu.
Capaian dari kerja-kerja pengawasan ini juga tercermin dari hasil pengawasan Pilkada 2024 di Biak Numfor. Data menunjukkan bahwa terdapat 4 kasus pelanggaran administrasi, 5 pelanggaran kode etik, 7 pelanggaran pidana pemilu, dan 7 kasus pelanggaran netralitas ASN. Angka-angka ini merefleksikan bahwa persoalan netralitas dan pelanggaran pemilu masih menjadi isu serius yang memerlukan perhatian bersama, baik oleh Bawaslu maupun oleh seluruh ekosistem demokrasi lokal. Temuan ini juga menjadi cermin bahwa pengawasan tidak cukup hanya dilakukan secara formal, tetapi memerlukan pendekatan yang lebih holistik dan berbasis komunitas.
Namun demikian, pendekatan partisipatif ini membutuhkan dukungan kelembagaan dan kebijakan dari tingkat pusat. Regulasi pemilu harus mulai membuka ruang fleksibilitas dalam pelaksanaan pengawasan di wilayah Kabupaten Biak Numfor. Misalnya, dengan menyediakan alokasi anggaran yang disesuaikan dengan tantangan geografis, serta mendorong desain kebijakan afirmatif untuk penguatan kapasitas pengawas di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Tanpa dukungan tersebut, strategi lokal yang adaptif akan sulit bertahan dalam sistem birokrasi yang masih cenderung seragam.
Pengawasan pemilu di Biak Papua juga harus dipahami sebagai bagian dari proses demokratisasi yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan aspirasi masyarakatnya. Demokrasi yang substansial di Biak Papua hanya dapat dicapai jika proses pemilu berlangsung inklusif, dengan menghormati nilai-nilai lokal dan menjamin partisipasi setara bagi seluruh warga. Dalam hal ini, pengawasan pemilu berperan sebagai jembatan antara regulasi dan realitas antara struktur negara dan dinamika masyarakat.
Sebagai penutup, pengawasan pemilu di daerah khusus seperti Biak Papua adalah kerja yang menuntut keberanian, empati, dan inovasi. Keberhasilan pengawasan bukan hanya diukur dari banyaknya pelanggaran yang ditindak, tetapi dari seberapa besar kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi yang berlangsung. Di sinilah Bawaslu ditantang untuk terus mengembangkan pendekatan yang tidak hanya taat regulasi, tetapi juga peka terhadap realitas lokal, demi mewujudkan pemilu yang berkeadilan, bermartabat, dan berakar pada nilai-nilai.
Comment