MAKASSAR, LENSAMERDEKA.COM – Tujuh pimpinan Fakultas Kedokteran dari sejumlah perguruan tinggi di Makassar menyatakan mosi tidak percaya terhadap Menteri Kesehatan Republik Indonesia, sebagai bentuk kritik terhadap arah kebijakan kesehatan nasional yang dinilai semakin menjauh dari prinsip kolaboratif dan partisipatif.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam sebuah aksi keprihatinan yang digelar di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas), Kamis (12/6), dan diikuti oleh guru besar serta mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Aksi ini juga merupakan dukungan terhadap seruan 372 guru besar kedokteran dari seluruh Indonesia yang sebelumnya telah menyuarakan kegelisahan serupa.
Tujuh perguruan tinggi yang terlibat dalam aksi ini adalah FK Unhas, FK UIN Alauddin, FK Universitas Muslim Indonesia (UMI), FK Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh), FK Universitas Negeri Makassar (UNM), FK Universitas Bosowa (Unibos), dan FK Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGO).
Guru Besar FK Unhas, Prof. dr. Muhammad Akbar, Ph.D, Sp.N(K), DFM, menjelaskan bahwa pernyataan ini merupakan akumulasi dari keprihatinan yang telah diutarakan sejak 20 Mei 2025. Ia menekankan bahwa sikap para guru besar bukan didorong oleh ambisi personal, tetapi berlandaskan tanggung jawab moral dan keilmuan terhadap nasib sistem kesehatan nasional.
“Kesombongan bukanlah jiwa dari kegurubesaran. Kami bersuara bukan untuk menonjolkan status, tetapi karena memiliki tanggung jawab nurani dan keilmuan dalam menjaga arah pembangunan bangsa, khususnya di bidang kesehatan,” tegas Prof. Akbar.
Pernyataan itu mencerminkan posisi moral akademisi yang tidak hanya bertindak sebagai pengamat, melainkan sebagai pihak yang merasa berkewajiban mengawal kualitas dan etika kebijakan publik, khususnya dalam bidang kesehatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Forum Guru Besar Kedokteran Indonesia mengungkapkan kekecewaan mendalam terhadap pola komunikasi Kementerian Kesehatan yang dinilai tertutup dan eksklusif. Mereka menilai narasi yang dibangun justru menjauhkan dialog konstruktif dan menstigma organisasi profesi serta akademisi sebagai hambatan perubahan.
“Di era digital ini, narasi yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan bukan hanya membangun opini, tapi juga menjadi alat penghancur terhadap pihak-pihak yang seharusnya menjadi mitra strategis dalam membangun sistem kesehatan nasional,” bunyi pernyataan bersama mereka.
Tak hanya pada level komunikasi publik, para guru besar juga menyoroti respons Kementerian Kesehatan yang dianggap konfrontatif terhadap masukan masyarakat akademik, bahkan dalam ruang-ruang formal seperti sidang Mahkamah Konstitusi. Hal ini, menurut mereka, memperdalam krisis kepercayaan terhadap Menkes.
Dekan FK Unhas, Prof. Dr. dr. Haerani Rasyid, M.Kes, Sp.PD-KGH, Sp.GK, FINASIM, dalam pernyataannya menegaskan bahwa guru besar tidak menolak perubahan, namun mendesak agar reformasi dilakukan dengan pendekatan ilmiah dan dialog terbuka.
“Kami tidak lagi menaruh kepercayaan kepada Menteri Kesehatan untuk memimpin proses reformasi kesehatan yang inklusif, adil, dan berdasarkan prinsip-prinsip kebijaksanaan kolektif bangsa sebagaimana diamanatkan dalam program Asta Cita,” kata Prof. Haerani.
Pernyataan ini menyiratkan tuntutan yang tidak hanya bersifat politis, tetapi juga strategis. Para akademisi berharap adanya perubahan fundamental dalam tata kelola kebijakan kesehatan agar lebih akomodatif terhadap aspirasi publik dan komunitas profesi.
Dalam penutup pernyataannya, para pimpinan Fakultas Kedokteran dan guru besar mendesak pemerintah untuk mengevaluasi pendekatan kebijakan yang berjalan saat ini. Mereka menuntut dibukanya ruang dialog secara luas, guna membangun sistem kesehatan nasional yang lebih inklusif, berkeadilan, dan mengedepankan kepentingan masyarakat.
Pernyataan mosi tidak percaya dari kalangan akademisi kesehatan ini menandai eskalasi ketegangan antara pemerintah dan komunitas ilmiah. Ini bukan sekadar protes administratif, tetapi sinyal kegagalan komunikasi strategis antara regulator dan pelaksana lapangan. Jika dibiarkan berlarut, friksi ini berpotensi melemahkan kolaborasi dalam reformasi sistem kesehatan nasional — sebuah proses yang semestinya melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara sejajar dan terbuka
Comment