JAKARTA, LENSAMERDEKA.COM — Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, akan turun tangan langsung menyelesaikan sengketa kewilayahan empat pulau yang diperebutkan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Hal ini diungkapkan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, usai melakukan komunikasi langsung dengan Presiden.
“Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Utara,” kata Dasco dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (15/6/2025).
Menurut Dasco, Presiden akan mengumumkan keputusan resmi terkait status administratif empat pulau tersebut pada pekan depan.
Sengketa ini melibatkan empat pulau yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang (Besar), dan Pulau Mangkir Ketek (Kecil). Status keempat pulau tersebut telah lama diperdebatkan kedua provinsi, dengan intensitas diskusi yang berlangsung hampir dua dekade.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menyebut status keempat pulau ditetapkan oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi—forum lintas kementerian dan lembaga teknis yang menangani validasi nama dan lokasi pulau di Indonesia.
Safrizal menjelaskan, Aceh dan Sumut sebelumnya sepakat menyerahkan keputusan kepada tim pusat pembakuan dengan komitmen patuh pada hasil verifikasi.
“Setelah (polemik) berulang-ulang, diajukan dan ada kesepakatannya bahwa (keputusan mengenai wilayah administrasi empat pulau) diserahkan kepada tim pusat pembakuan… maka diputuskan,” jelas Safrizal.
Berdasarkan verifikasi yang dilakukan sejak tahun 2008–2009, Tim Nasional menetapkan bahwa keempat pulau tersebut masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Dalam proses verifikasi tahun 2008, Pemerintah Provinsi Aceh tidak mencantumkan empat pulau tersebut dalam daftar 260 pulau miliknya. Hal ini dikonfirmasi oleh Gubernur Aceh saat itu pada tahun 2009.
Di sisi lain, Pemprov Sumatera Utara sejak awal menyatakan bahwa empat pulau tersebut termasuk dalam 213 pulau yang diverifikasi di wilayahnya, lengkap dengan koordinat dan konfirmasi dari gubernur setempat.
Selain itu, perubahan nama dan perpindahan koordinat pulau-pulau tersebut dari versi Aceh juga menjadi faktor penting dalam keputusan pembakuan. Misalnya, Pulau Mangkir Besar sebelumnya disebut Pulau Rangit Besar, dan Pulau Lipan sebelumnya dikenal sebagai Pulau Malelo.
Penetapan resmi Kemendagri pada 2025 memicu reaksi keras dari sejumlah elemen di Aceh, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), yang menolak keputusan tersebut dan menuntut keempat pulau dikembalikan ke wilayah Aceh.
Menanggapi dinamika ini, Safrizal membuka ruang dialog antarpemerintah daerah. Jika kedua gubernur mencapai kesepakatan bersama, Kemendagri akan mendukung melalui prosedur administrasi lebih lanjut.
“Kalau ketemu, oh sepakat berdua gubernur, sudah kita tinggal administratif mengesahkan,” ucapnya.
Sengketa empat pulau ini menggarisbawahi pentingnya konsistensi data, keterbukaan dalam proses administrasi kewilayahan, serta urgensi koordinasi lintas daerah dan pusat. Dalam sistem pemerintahan desentralistik, distribusi kewenangan seperti ini menuntut kejelasan kerangka hukum dan keputusan politik yang berpijak pada fakta, bukan tekanan politik lokal.
Langkah Presiden Prabowo mengambil alih dan memberikan keputusan langsung mencerminkan pendekatan sentralistik terhadap isu strategis. Namun demikian, transparansi dalam pengambilan keputusan menjadi hal yang mutlak demi menjaga kepercayaan publik di kedua wilayah yang bersengketa.
Comment